Sebagai produk peradaban modern, kartu kredit sebetulnya layak di apresiasi. Seperti halnya uang, komputer, dan telepon genggam, kartu kredit membawa perubahan yang signifikan terhadap gaya hidup manusia. Jika uang menggeser sistem transaksi barter, maka kartu kredit membuat manusia tak perlu menggembol segepok uang untuk membeli barang yang bernilai tinggi.
Cukup dengan menunjukkan kartu plastik seukuran saku, maka barang yang bernilai jutaan rupiah bahkan miliaran rupiah bias berpindah tangan. Karena itu, banyak orang yang menyebut kartu kredit sebagai uang plastik. Sejak di perkenalkan kali pertama oleh Dinners Club dan American Express pada awal 1950, jumlah pengguna kartu kredit alias mata uang plastik itu bertambah.
Sistem di kartu kredit sebetulnya simple. Saat berbelanja, pemilik kartu atau card holder memakai dulu uang bank pemberi kartu kredit. Kemudian, dalam tempo sesuai dengan perjanjian, card holder membayar biaya pembelanjaan yang di gunakan kepada bank bersangkutan. Namun, di balik system yang sederhana itu, ada bencana yang siap menjerat card holder jika pembayaran melewati jatuh tempo yang di sepakati.
Sesuai dengan namanya, uang yang di bayar bank tetaplah berstatus kredit atau utang. Jika utang di kartu kredit menumpuk, bunga pun berlipat. Di situlah sifat “iblis” kartu kredit muncul. Berbeda dari pinjaman lain di bank, utang melalui kartu kredit bias menjadi bunga berbunga, walaupun pembayaran aktif dilakukan nasabah dengan besaran tagihan minimal per bulan.
Di Indonesia, sifat “iblis” kartu kredit itu seakan menemukan habitatnya. Bank indonessia (BI) begitu longgar dalam menerapkan aturan dan kesempatan tersebut di manfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh perbankkan debgan menggelontorkan kredit ke sector konsumsi. Fenomena itu berbalik 180 derajat dengan perlakuan terhadap kredit usaha. Aturan BI begitu ketat, bunga begitu tinggi, dan ujung-ujungnya perbankkan ogah-ogahan meneteskan kreditnya.
Padahal, kredit konsumsi mendorong sifat konsumtif masyarakat sehingga mereka sulit menabung dan ujung-ujungnya sulit mencapai kekayaan. Tetapi, kredit usaha akan mendorong perekonomian jangka panjang dan mendongkrak penyerapan tenaga kerja sehingga masyarakat mudah mendapatkan kemakmuran.
Untuk menjadi debitor kartu kredit juga terus di permudah. Tidak perlu punya kekayaan segunungatau berwajah rupawan. Cukup menyempatkan jalan-jalan di mal dengan membawa KTP, maka sales kartu kredit akan menyambut. Padahal, menikmati kredit usaha, calon debitur harus membuat proposal usaha yang jelimet dan kadang perlu penampilan menyakinkan agar sekadar dilirik perbankkan.
Semua paradoks kartu kredit dan kredit usaha itu berjalan bertahun-tahun. Namun, BI seakan menutup mata dan bank juga maikin kalap. Dengan debitor yang di raup secara serampangan di mal-mal, bank penerbit kartu kredit semakin tak takut dengan resiko kredit macet. Dengan duit dari bunga yang menabung, bank tak kekurangan dana untuk merekrut pihak ketiga demi melakukan penagihan. Semua resiko sudah di perhitungkan.